Rabu, 11 Januari 2012

Mutiara di samudra hati

Sebuah tempat singgah sekedarnya berhasil kutata. Dindingnya hanya untaian fikir yang mampu kurangkai, atapnya hanya sedikit goresan hati yang berani kuungkap, perabotnya hanyalah rentetan cerita yang tak sesempurna kisah para shahabiyah. Aku bukan arsitek ulung, bukan pakar perangkai kata, bukan penulis ideal, dan bukan pemikir hebat.

Kesan pertamaku mungkin pernah membuatmu terpesona, tapi belum tentu kesan selanjutnya. Kehadiranku mungkin pernah kaunantikan, tapi aku tahu ada yang lebih layak untuk kau nantikan. Aku mungkin pernah menginspirasimu, tapi sesungguhnya kau sendirilah yang lebih pandai menggali inspirasi. Mungkin beberapa ceritaku sempat membuatmu terbuai, tapi sesungguhnya ada banyak kebun hikmah di jagad dunia yang lebih membuatmu terhanyut akan maknanya, selama kau bisa melihatnya dengan mata hati dan fikirmu.

Kau tahu, aku hanyalah perempuan biasa. Cermin wanita akhir zaman yang mungkin tak sesabar Khadijah, tak secerdas Aisyah, tak selembut Fatimah dan tak seberani Khaulah. Cukuplah kau mengenalku seperti itu, agar kau mampu menghargaiku dengan segala kekuranganku. Jika kau ada di ujung Utara, mungkin aku ada di ujung Selatan, dan kita akan saling menunjukkan dimana Barat dan Timur agar bisa saling menebarkan senyum di segala arah. Bukankah disitu letak indahnya persahabatan?

Aku belajar darimu bagaimana menjadi seorang Bunda, aku berguru padamu bagaimana memanusiakan manusia, aku mendapat senyum termanis di Ladang Indah milikmu, kau menerima kehadiranku layaknya sahabat terbaikmu, menyambutku begitu indahnya walau hanya duduk termangu di emperan istanamu. Mengerti bagaimana penghargaan itu begitu tulusnya, begitu berharganya….

Tapi mungkin aku pernah menggoreskan sedikit luka disana, mungkin aku pernah meninggalkan kotoran yang belum sempat kubersihkan, barangkali aku sempat meremehkan jalinan indah yang kau berikan, atau mungkin membuatmu tak nyaman dengan segala polah kacauku.

Kali ini, lagi-lagi, aku ingin meraih mutiara itu di samudera hatimu. Aku tahu, kau tak akan pernah keberatan mengangkatnya untukku. Maafkan aku, karena sekian waktu adalah cukup untuk menunjukkan retaknya dindingku, pudarnya warnaku, rapuhnya atapku, dan lusuhnya perabot milikku. Dan maafmu, yang membuat bangunan ini mampu utuh kembali… seperti semula